Followers

Visitors

blog-indonesia.com
   

Di awal abad ke-20, tanah Jawa masih sangat lekat dengan budaya feodal. Golongan darah biru menempati kelas sosial atas dalam struktur masyarakat Jawa. Salah satunya kebiasaan memiliki ‘istri percobaan’ sebelum sang bangsawan menentukan ‘istri resmi’. Adanya budaya tersebut mendorong bangsawan laki-laki rutin berburu calon istri percobaan. Jika sedang melintasi suatu desa lalu melihat ada perawan yang menggugah selera, dia akan menikahinya. Sejumlah harta benda diberikan sebagai tukon (jw: tuku artinya beli) pada bapak dan ibu si perawan. Selanjutnya anak gadisnya akan tinggal di rumah gedung sang bangsawan. Namun masa tinggal itu biasanya tidaklah lama. Begitu lahir anak dari perkawinan uji coba tadi, sang bangsawan segera menceraikannya, lalu berburu perawan baru.

Gadis Pantai pernah menjadi istri percobaan seorang saudagar kaya. Dia dicabut dari perkampungan nelayan yang miskin melalui perkawinan tadi. dia menangis sedih ketika bapak dan emaknya meninggalkannya di rumah ndoro, suaminya. Itu sebuah rumah gedung bertembok tinggi dengan banyak pelayan dan beberapa anak kecil hasil perkawinan uji coba sebelumnya. Mulai saat itu gadis pantai harus beradaptasi dengan budaya rumah gedongan. Dia harus belajar membatik dan sejumlah keterampilan khas perempuan gedongan lainnya. Dia harus belajar memerintah para pelayan – sesuatu yang tidak pernah dia lakukan selama hidup bersama emak dan bapak. Dia juga harus bersikap waspada dan tidak percaya kepada siapapun di rumah itu karena kedudukannya sebagai istri percobaan setiap saat dapat dicopot. Ya, walaupun bersifat sementara, status sebagaimana yang dimiliki gadis pantai tetap diperebutkan oleh banyak orang. Sementara itu dia harus memperlakukan ndoro sebagai majikan, bukan sebagai suami. Perlakuan semacam itu tidak pernah dia pelajari dari sikap emak terhadap bapak. Sungguh suatu adaptasi yang revolusioner bagi seorang Gadis Pantai.

Puncak dari segala gejolak batin itu berupa sikap ndoro mengembalikannya kepada orang tuanya. Itu terjadi beberapa saat setelah anaknya lahir. Dengan diberi sejumlah harta, ndoro memintanya pergi dari rumah gedong, tentu saja tanpa membawa serta anaknya. Perlakuan tersebut mendorong Gadis Pantai untuk berontak. Dia melawan perintah itu. Gadis Pantai ingin pergi dari rumah gedong tadi bersama bayinya. Dia tidak rela anaknya bernasib sama dengan anak-anak lain di rumah itu. Ndoro naik pitam. Dengan menggunakan paksaan, Gadis Pantai digelandang ke luar pagar. Dia tinggalkan semua yang pernah dimilikinya. Harta benda yang diberikan sebagai upah dari ndoro tidak menyenangkan hatinya. Hatinya hancur lebur, menyadari anaknya – harta yang paling berharga – harus ditinggal di rumah itu.

Ini salah satu novel Pramoedya Ananta Toer yang terselamatkan dari pemusnahan oleh rezim Orde Baru. Sebenarnya terdapat tiga novel lain yang menyertai novel Gadis Pantai. 

1 Responses to Gadis Pantai

  1. Anonymous Says:
  2. Gimana mau dwnload ya.. sy suda cuba tp ngak bole..sy ct dr msia... hrp dpt bantu sya...

     

Post a Comment